“ lho udah seminar?”. Tanya mahasiswa pada temanya.
“Gue lhom kepikiran”!! jawab temannya.
Mendengar pembicaraan orang itu, pertama saya kira keduannya anak Betawi tulen, dialek yang dipakai mirip benar dengan bahasa di sinetron-sinetron remaja di stasiun televisi kita, Indonesia. Tapi setelah saya bertanya pada temanku, yang kebetulan teman salah satu dari kedua mahasiswa tersebut, ternyata salah satunya eh.. orang Jember.
Satu lagi, cerita. Ketika saya mengikuti pelatihan jurnalistik, di salah satu kampus di Unej, saya sempat kagum dengan pemateri yang mengajari peserta tentang fotografi, dia begitu luwes dengan logat bahasa Betawi, dalam mengarahkan peserta dalam memahami teknik-teknik fotografi yang dia berikan. Biasa tidak kenal tidak sayang, kata pepatah. Saya menanyakan kepada salah satu panitia, “asal mana, mba, mas Graha (nama samaran) tersebut?”. “asalnya Probolinggo”!!. Sahutku “oh… saya kira orang Betawi”.
Dari beberapa kejadian yang saya dapatkan, saya bertanya sendiri, kenapa kok begitu?. Sebelumnya saya acuh, saya tak mau berpikir panjang, tetapi begitu seringnya fenomena tersebut, membuat saya heran, dan sangat heran, kenapa kayaknya kita tidak terbiasa bersikap apa adannya, tidak percaya diri. Sekian kamuflase harus kita lakukan, demi sebuah makna gaul, dalam melakukan interaksi sosial. Termasuk dalam hal kecil permainan kata (baca;bahasa).
Fenomena tersebut membuatku asyik, dan mengarahkanku mengintip sejenak, apa yang sebenarnya terjadi. Dengan Sedikit analis amatir saya mencoba mencari tahu. karena saya tidak mau terjebak. karena saya memainkan alat musik, yang aku sendiri tidak tahu ketukkan nadannya, bisa-bisa membikin gadu, dengan membuat sahabat-sahabat Ngopiku tertawa, karena mendengar saya memakai bahasa orang lain, yang sebenarnya aku sendiri tidak bisa, namun memaksa.
Jika di telisik sedikit, ternyata salah satu yang menyebabkan, pola bahasa masyarakat kita, terutama remaja bergeser ke frame yang tidak seharusnya tersebut, salah satu penyebabnya, menurut analisis kecil saya adalah media, khususnya media elektronik, seperti radio dan televisi. Karena Media yang ada, saat mengawal transisi masyarakat dari tradisional ke modernitas, menyuguhkan, bahasa yang bagi saya pribadi amburadul. Dinamakan bahasa daerah, kok gitu, dinamakan bahasa nasional, kok juga begitu. Dari struktur yang digunakan, tidak jelas.
Media sebagai sarana komunikasi masyarakat, memiliki peran yang sangat urgen dalam perubahan sosial. Fungsinya diantaranya, memberikan informasi, pendidikan, juga hiburan. Bagi para komunikan, atau yang biasa dinamakan pemirsa. Disaat komunikasi terjadi, saat itu pulalah, permainan bahasa dimulai. dan perlu digaris bawahi, bahwa disaat ini pula perang antar bahasa terjadi. Perang tersebut bukan hanya terjadi di layar televisi, namun perang terjadi hampir disetiap tempat yang ada, dan terjangkau oleh media.
Sebagaimana yang diungkapkan pakar sosiologi Sadono-Sukirno, “bahwa perubahan dalam masyarakat karena suatu kebudayaan kontak dengan kebudayaan lain, dan salah satu yang menyangkut ini adalah diffusion (baca;difusi). Difusi adalah proses penyebaran kebudayaan dalam individu kepada individu, dan dari masyarakat kemasyarakat lain”.
Dari apa yang dipaparkan diatas, dapat disimpulkan, bahwa media, khususnya elektronik, menjadi instrument penting, sebagai mediator dalam mempertemukan budaya satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, khususnya budaya yang ada di media dengan budaya para komunikan, atau pemirsa. Termasuk mempertemukan bahasa masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. bahasa disini juga termasuk dalam salah satu unsur yang membentuk budaya.
Lihat di stasiun pertelevisian, kita. Selain bahasa nasional, bahasa Indonesia, bahasa apa saja yang biasa mereka gunakan. Tidak lain, bahasa yang mendominasi, dan mengintervensi, baik bahasa lokal maupun bahasa nasional adalah bahasa betawi, kalau ada bahasa lain, paling keberadaanya hanya sebatas asesoris pemanis, untuk memperkuat karakter peran yang dimainkan seorang aktor atau bentuk terjemahan karena masyarakat dianggap tidak tahu bahasa apa yang ada saat pemutaran acara (program televisi). Dominasi tersebut, bisa dikarenakan, pusat-pusat media tersebut, letaknya memang di lokasi yang masyarakatnya kebetulan memiliki dan menggunakan bahasa betawi, Yakni Jakarta. Atau memang kesengajaan pemain dibelakang layar, untuk betawisasi.
Jika demikian, baru saya famahi. Oh…bahasa yang mereka gunakan, seperti percakapan, dan beberapa fenomena yang sering saya lihat dan saya ceritakan diatas. Ternyata sebatas ikut-ikutan bukan kesadaran. Dengan tidak buruk sangka, saya menganggap apa yang ada dan dilakukan masyarakat tersebut sebatas efek media. Walaupun pada dasarnya, sebenarnya bukan hanya dari media. Bisa saja, karena mobilitas suatu individu, maupun masyarakat dari satu daerah ke daerah yang lain yang kebetulan bahasa yang mereka gunakan tidak sama. Seperti penyaji, materi fotografi yang saya ceritakan.
Jika penulis boleh meratingkan, maka bahasa paling populer saat ini, adalah bahasa Betawi bahasa, bahasa suku Sunda, Jawa Barat-Indonesia, bahasa “lho” “lho”, “gue” “gue”. Dari total 726 bahasa daerah yang ada di Nusantara.
Kamis, 28 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar