Kamis, 28 Februari 2008

Bahasa Populer

“ lho udah seminar?”. Tanya mahasiswa pada temanya.
“Gue lhom kepikiran”!! jawab temannya.

Mendengar pembicaraan orang itu, pertama saya kira keduannya anak Betawi tulen, dialek yang dipakai mirip benar dengan bahasa di sinetron-sinetron remaja di stasiun televisi kita, Indonesia. Tapi setelah saya bertanya pada temanku, yang kebetulan teman salah satu dari kedua mahasiswa tersebut, ternyata salah satunya eh.. orang Jember.
Satu lagi, cerita. Ketika saya mengikuti pelatihan jurnalistik, di salah satu kampus di Unej, saya sempat kagum dengan pemateri yang mengajari peserta tentang fotografi, dia begitu luwes dengan logat bahasa Betawi, dalam mengarahkan peserta dalam memahami teknik-teknik fotografi yang dia berikan. Biasa tidak kenal tidak sayang, kata pepatah. Saya menanyakan kepada salah satu panitia, “asal mana, mba, mas Graha (nama samaran) tersebut?”. “asalnya Probolinggo”!!. Sahutku “oh… saya kira orang Betawi”.
Dari beberapa kejadian yang saya dapatkan, saya bertanya sendiri, kenapa kok begitu?. Sebelumnya saya acuh, saya tak mau berpikir panjang, tetapi begitu seringnya fenomena tersebut, membuat saya heran, dan sangat heran, kenapa kayaknya kita tidak terbiasa bersikap apa adannya, tidak percaya diri. Sekian kamuflase harus kita lakukan, demi sebuah makna gaul, dalam melakukan interaksi sosial. Termasuk dalam hal kecil permainan kata (baca;bahasa).
Fenomena tersebut membuatku asyik, dan mengarahkanku mengintip sejenak, apa yang sebenarnya terjadi. Dengan Sedikit analis amatir saya mencoba mencari tahu. karena saya tidak mau terjebak. karena saya memainkan alat musik, yang aku sendiri tidak tahu ketukkan nadannya, bisa-bisa membikin gadu, dengan membuat sahabat-sahabat Ngopiku tertawa, karena mendengar saya memakai bahasa orang lain, yang sebenarnya aku sendiri tidak bisa, namun memaksa.
Jika di telisik sedikit, ternyata salah satu yang menyebabkan, pola bahasa masyarakat kita, terutama remaja bergeser ke frame yang tidak seharusnya tersebut, salah satu penyebabnya, menurut analisis kecil saya adalah media, khususnya media elektronik, seperti radio dan televisi. Karena Media yang ada, saat mengawal transisi masyarakat dari tradisional ke modernitas, menyuguhkan, bahasa yang bagi saya pribadi amburadul. Dinamakan bahasa daerah, kok gitu, dinamakan bahasa nasional, kok juga begitu. Dari struktur yang digunakan, tidak jelas.
Media sebagai sarana komunikasi masyarakat, memiliki peran yang sangat urgen dalam perubahan sosial. Fungsinya diantaranya, memberikan informasi, pendidikan, juga hiburan. Bagi para komunikan, atau yang biasa dinamakan pemirsa. Disaat komunikasi terjadi, saat itu pulalah, permainan bahasa dimulai. dan perlu digaris bawahi, bahwa disaat ini pula perang antar bahasa terjadi. Perang tersebut bukan hanya terjadi di layar televisi, namun perang terjadi hampir disetiap tempat yang ada, dan terjangkau oleh media.
Sebagaimana yang diungkapkan pakar sosiologi Sadono-Sukirno, “bahwa perubahan dalam masyarakat karena suatu kebudayaan kontak dengan kebudayaan lain, dan salah satu yang menyangkut ini adalah diffusion (baca;difusi). Difusi adalah proses penyebaran kebudayaan dalam individu kepada individu, dan dari masyarakat kemasyarakat lain”.
Dari apa yang dipaparkan diatas, dapat disimpulkan, bahwa media, khususnya elektronik, menjadi instrument penting, sebagai mediator dalam mempertemukan budaya satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, khususnya budaya yang ada di media dengan budaya para komunikan, atau pemirsa. Termasuk mempertemukan bahasa masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. bahasa disini juga termasuk dalam salah satu unsur yang membentuk budaya.
Lihat di stasiun pertelevisian, kita. Selain bahasa nasional, bahasa Indonesia, bahasa apa saja yang biasa mereka gunakan. Tidak lain, bahasa yang mendominasi, dan mengintervensi, baik bahasa lokal maupun bahasa nasional adalah bahasa betawi, kalau ada bahasa lain, paling keberadaanya hanya sebatas asesoris pemanis, untuk memperkuat karakter peran yang dimainkan seorang aktor atau bentuk terjemahan karena masyarakat dianggap tidak tahu bahasa apa yang ada saat pemutaran acara (program televisi). Dominasi tersebut, bisa dikarenakan, pusat-pusat media tersebut, letaknya memang di lokasi yang masyarakatnya kebetulan memiliki dan menggunakan bahasa betawi, Yakni Jakarta. Atau memang kesengajaan pemain dibelakang layar, untuk betawisasi.
Jika demikian, baru saya famahi. Oh…bahasa yang mereka gunakan, seperti percakapan, dan beberapa fenomena yang sering saya lihat dan saya ceritakan diatas. Ternyata sebatas ikut-ikutan bukan kesadaran. Dengan tidak buruk sangka, saya menganggap apa yang ada dan dilakukan masyarakat tersebut sebatas efek media. Walaupun pada dasarnya, sebenarnya bukan hanya dari media. Bisa saja, karena mobilitas suatu individu, maupun masyarakat dari satu daerah ke daerah yang lain yang kebetulan bahasa yang mereka gunakan tidak sama. Seperti penyaji, materi fotografi yang saya ceritakan.
Jika penulis boleh meratingkan, maka bahasa paling populer saat ini, adalah bahasa Betawi bahasa, bahasa suku Sunda, Jawa Barat-Indonesia, bahasa “lho” “lho”, “gue” “gue”. Dari total 726 bahasa daerah yang ada di Nusantara.

Pesan Sunan Muria

Perubahan keadaan itu atas kehendak tuhan
Tiada kesaksian yang menyamai kepastian tuhan,
Karena tidak ada yang dapat menggagalkan kepastian tuhan.
Benar yang berasal dari tuhan itu apabila tiada sifat angkara murka dan tidak suka menyengsarakan orang lain.
Didunia ini ada dua macam kebenaran yaitu benar dihadapan tuhan dan benar dihadapan penguasa.

Kepada Pemilik Keabadian

Oh..pemilik keabadian
Palung itu teramat dalam tuk ku selami
Harus aku cari kemana kekuatan itu
Sedang raga tempat jiwa ini, terkikis habis, oleh angin, api, air
Udara…dari sukma pelapis jiwa
Bergelayut bebas kusibakkan dera
Didekat pemandian dekat sanubari
Nurani,

Benarkah kebenaran itu,.. masih
Sedikit kau lekatkan, pada
Raga, sukma, jiwa dan cahaya
Dari wakil-wakil keberadaan yang ada

Tuhan maafkan aku-ampuni aku
Aku tidak takut pada nerakamu
Yang aku takutkan hanyalah wajahmu,
Berpaling...berpaling….

Bukan ku tak sadar, dalam
Melakukan semua pengingkaran terhadapmu, tuhan
Tetapi jalan yang aku lewati
Terlihat samar dan membutahkan.
Temukan aku
Tempatkan aku
Disana…
Diperaduanmu….

Cinta itupun Berkata

…….tidak ada salahnya aku berbicara tentang cinta dan merenungkannya, tetapi malu melengkapinya manakala aku sampai pada cinta itu sendiri.
Cinta tak terjangkau oleh kata-kata dan pendengaran kita
Cinta adalah tautan yang tak terukur kedalamanya
Coba kau hitung, berapa banyak air di sungai? Dalam lautan itu tujuh sungai tiada tara.
Cinta tak dapat dituangkan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, buku-buku dan tulisan
Apapun yang dikatakan orang (tentang cinta)
Kulit semata; cinta adalah sebuah rahasia yang tidak terungkap.
Cukup! Sampai kapanpun, kau akan terpancang pada lidah dan kata-kata, cinta begitu banyak tamsilan yang beberapa diseberang kata-kata.
Seseorang bertannya apakah cinta? Jawabanku “bertanyalah tentang makna-makna”
Oh..kau yang telah mendengarkan pembicaraan tentang cinta, tetaplah cinta.

Dikutip darikarya
William Chitik tentang jalan cinta
Jalaluddin Rumi

Senin, 11 Februari 2008

Selain tuhanku


ibu, aku berjanji!! setiap tetes-tetes keringatmu akan ku ubah menjadi tinta-tinta, lalu akan ku buat menulis makna-makna..

Nevermind


biarkan aku berada tanpa kesadaran kawan
karena kesadaran itu semakin menjadikanku bodoh
tak usah kau bertanya, tentang aku
keberadaan dan ketiadaanku sama saja, sama saja bagimu.

Kami dan kalian

Kami anak-anak penderitaan, sedang
Kalian anak-anak keriaan. Kamilah
Anak penderitaan dan penderitaan adalah
Bayangan tuhan yang tidak
Bersemayam dihati yang jahat

Kami adalah ruh yang menderita dan
Penderitaan terlalu agung untuk
Berdiam dihati kerdil. Bila kalian tertawa,
Kami menatap dan menangsi; dan
Siapa yang pernah dibakar dan disuci
Meski sesekali oleh airmatanya sendiri
Selamanya akan tetap suci.

Kalian tak memahami kami, tapi kai
Berikan simpati kami pada kalian.
Kalian hanyut bersama derasnya
Sungai kehidupan, dan kalian tak
Menghiraukan kami; sementara
Kami duduk ditepian sungai, melihat
Kalian dan mendengar suara kalian
Yang ganjil

Kami tak menagkap jeritan kami,
Karena bisingnya hari telah membuat
Telingahmu tuli, tersumbat kerasnya
Gumpalan dari tahun-tahun kebodohan
Kalian; namun kami mendengar
Nyanyian-nyanyian kalian, karena bisikan
Malam batin membukakan nurani kami,
Kami melihat kalian berdiri
Dibawah ujung jemari cahaya, tapi
Kalian tak bisa melihat kami, karena
Kami tinggal didalam
Kegelapan yang mencerahkan.

Kami anak penderitaan, kami para penyair
Para nabi dan para pemusik. Kami
Menenun busana sang dewi dari
Benang hati kami, dan kami penuhi
Tangan para bidadari dengan bijian nurani kami

Kalian anak-anak pemburu
Dunia. Kalian tempatkan hati dalam
Genggaman kehampaan, karena
Sentuhan tangan kehambaan begitu
Lembut dan mengundang selera.

Kalian tinggal dalam rumah kebodohan,
Kerena dirumah itu tak ada cermin untuk
mengaca bagi jiwa-jiwa kalian.

Kami menghela nafas, dan tarikan itu lahir
Bisikan mesra bunga-bunga
Gemerisik dedaunan dan gemerisik
Anak sungai

Ketika kalian menghina kami, tingkahmu
Berbaur dengan penghancuran tengkorak,
Gemeretak reruntuhan dan ratapan
Dari jurang dalam. Jika kami menangis
Airmata menetes kedalam jantung
Kehidupan, bagai embun menetes
Dari pelupuk malam, kedalam
Jantung fajar; dan bila kalian tertawa,
Tawa sinis kalian menebar racun
Bagai bisa ular meracuni luka.

Kami menangis, menaruh simpati pada
Simiskin gelandangan dan janda
Yang berduka; tapi kalian bersukaria
Tersenyu memandang emas
Yang gemerlapan.

Kami menagis, karena kami mendengar
Isakan kaum miskin dan ratapan
Silemah yang tertindas; tapi kalian
Terbahak, karena tiada yang kalian
Dengar selain bunyi cawan anggur
Yang berdenting.

Kami menangis, karena saat ini ryh kami
Tercerai dari yang ilahi, tapi kalian tertawa
Karena tubuh kalian terikat oleh
Kebodohan dunia.

Kami anak penderitaan, sedang kalian
Anak-anak kegembiraan….biarkanlah
Kami mengukur buah penderitaan
Kami berbandin tajam dengan
Tingkat keriangan didepan
Kesaksian sang matahari………

Kalian telah mendirikan kota babilonia
Diatas tulang-tulang di lemah,
Dan menegakkan istanan niniveh diatas kuburan simiskin

Kini babilonia hanyalah tapak kaki
Unta padang pasir yang bergerak digurun,
Dan sejarah berulang kembali
Pada bangsa-bangsa yang merestui kami
Dan selalu menghujat kalian.

Kami telah mengukir isytar dari
Pualam utuh dan membuatnya
Gemetar dalam keutuhannya
Dan berbicara melalui kebisuannya.

Kami telah menggubah dan
Mendendangkan nyanyian nahawand yang
Menyejukkan pada dawai-dawai,
Penyebab ruh pujaan menghampiri
Cakrawala. Endekati kami; memuja
Sang pencipta dengan kata dan perbuatan;
Kata-kata menjelma firman tuhan,
Dan perbuatan menjelma kasih
Bagai para bidadari

Kalian mengiuti jejak kesenangan
Yang cakar tajamnya telah mencapai
Ribuan tumbal gelanggang pembantaian
Roma dan antioch…sedang kami
Mengikuti jejak keheningan, yang jemari lembutnya telah menenun
Buku illiad dan kitab ayub serta
Ratapan jeremiah.

Kalian berlutut dibawah sang nafsu,
Yan gelorahnya telah mengusir
Ribuan arakan jiwa wanita ke dalalam
Terowongan memalukan
Dan mengerikan…sedang kami memeluk
Keheningan, dalam bayangan keindahan
Hamlet dan hamte menjulang.

Kalian menjilat pantat ketamakan,
Yang tajam pedangnya telah
Menumpahkan ribuan sungai darah…
Sedang kami mencari kebenaran,
Yang uluran tangannya medatangkan
Pengetahuan dan jiwa agung dan lingkaran cahaya

Kami anak-anak penderitaan, sedang
Kalian anak-anak kegembiraan;
Antara dukacita kami dan sukacita kalian
Terbentang jalan setapak liar yang
Bisa dilalui kuda keperkasaan dan
Dilintasi kereta kencanamu.

Kami iba akan kekerdilan kalian,
Sedangkan kalian benci dakan kejayaan
Kami; antara rasa iba kami dan
Kebencian kalian, sang waktu berhenti bertahan.
Kami menghampirimu sebagai teman,
Tapi kalian menyerang kami sebagai
Musuh; antara persahabatan kami
Dan permusuhan kalian, terbentang
Jurang dalam yang dialiri
Darah dan airmata.

Kami menegakkan istana kalian,
Tapi kalian menggali kuburan kami,
Antara kemegahan istana dan suram
Kuburan, kemanusiaan berjalan
Hilir mudik sebagai pengawal
Bersenjata besi.

Kami taburi jalan kalian dengan kembang
Mawar, namun kalian menebarkan
Duri diranjang kami, antara mawar
Dan duri, kebenaran tidur dan dengan
Geliasah. Sejak hari alastu, kalian telah
Memerangi kekuatan kami
Yang lembut dengan kelemahan kalian
Yang kasar; ketika kalian mengungguli
Kami barang sejam, kalian hiruk-pikuk
Meneriakkan kemenagan bagaikan
Katak di air. Namun ketika kami tetap diam
Bagai raksasa yang bungkam.

Kalian hidup dalam kenangan
Manusia-manusia, serupa bangkai
Dimuka bumi; dan kalian tidak menemukan
Seorang kawanpun yang mengubur
Kalian dalam kegelapan ketiadaan
Dan terlupakan oleh yang kalian cari
Dimuka bumi.

Kami anak penderitaan, dan derita
Adalah mega keemasan, menyirami
Umat manusia dengan pengetahuan dan
Kebenaran. Kalian anak-anak
Kegembiraan, betapapun tinggi
Jangkauan keembiraan kalian,
Dengan hokum tuhan ia akan binasa
Dihadapan angina dari surga dan
Diporak-porandakan menjadi kehampaan,
Karena hakekatnya dia tak lain hanyalah
Kabut tipis yang gemetar


(Gibran, Kahlil. 2000.
Lukisan keabadian. Fajar Pustaka: Jogjakarta

Sabtu, 02 Februari 2008

senandung jiwa



Di kedalaman jiwaku ada
Nyanyian tanpa kata - nyanyian yang hidup
Dalam benih-benih hatiku.
Ia menolak bersatu dengan tinta di
Perkamen; ia mengandalkan simpatiku
Pada sebuah jubah dan mengalir,
Tetapi tidak dibibirku.

Bagaimana aku melihatnya? Aku takut ia akan
Bercampur dengan ether dunia;
Kepada siapa ia kunyanyikan? Ia bersarang
Dirumah jiwahku, dalam ketakutan
Kepada telinga pemarah

Ketika kutatap mata batinku
Aku melihat bayangan dari bayanganya
Ketika kusentuh jemariku
Aku merasakan getarannya.

Tindakan tanganku mengikuti
Kehadirannya seperti danau memantulkan
Kemerlip bintang-bintang; air mataku
Menyingkapkannya, secemerlang embun
Mengungkap rahasia mawar

Inilah senandung gubahan dalam renung,
Di hias oleh kesunyian
Di lupakan oleh kenagan
Di lumatkan oleh kebenaran
Di tiruhkan oleh impian
Di pahami oleh cinta
Di sembunyikan oleh kesadaran
Dan dinyanyikan oleh jiwa.

Inilah senandung cinta;
Apakah kain atau esau
Dapat mendendangkannya?

Ia lebih semerbak dari melati;
Suara apa yang dapat mewaadahi?

Ia tersenbunyi seperti rahasia perawan
Dawai apa yang dapat menggetarkannya?

Siapa berani memaduh raungan samudra
Dan dendang lubuk malam?

Siap berani membandingkan prahara
Dengan desah seorang bayi?
Siapa berani meneriakkan
Kehendak hasrat hati?
Manusia mana yang berani menyanyikan
Lagu senandung tuhan?

Dinukil dari karya kahlil gibran (lukisan keabadian)
gibran, Kahlil. 2001. lukisan keabadian. Yogyakarta: Fajar Pustaka