dia menunggu temannya yang sedang daftar ulang, di PKM UNEJ. saya kira dia calon mahasiswa baru "kamu maba"?. "tidak mas, saya hanya nunggu teman". dengan sedikit terpatah-patah dia nyletuk "aku nunggu setahun lagi mas, lagi tidak punya dana untuk kuliah sekarang".
dia senantiasa mempertanyakan, apakah kuliah disini (UNEJ) tidak ada keringanan biaya.
"ya mungkin saja ada" . aku berpikiran, bahwa rektorat merupakan sosok-sosok yang dibiayai negara, ketika dia mendapatkan pendidikan, aku berpifir bahwa mereka masih punya keterbukaan hati untuk memberikan sedikit peluang kepada orang-orang senasib ready.
bahkan, 3 hari yang sebelumnya saya mendapati, ada anak asli Jember, yang terpaksa harus kembali kerumahnya, walaupun dia telah lolos seleksi nasional (SNMPTN), tetapi apalah daya, biaya pendidikan di negeri ini, selalu menjadi penentu apakah orang itu berhak kuliah atau tidak.
dapat dipikirkan secara akal waras "sekelas UNEJ, yang bisa dibilang salah satu universitas negeri termurah di JATIM" masih banyak masyarakat disekitarnya yang tidak mampu menjangkau biaya pendidikan. apalagi di universitas-universitas yang lain, yang harga jualnya jauh lebih tinggi.
"walaupun anak itu sepandai gunung dan lolos seleksi SNMPTN tetapi ketika tidak mampu untuk membayar biaya masuk universitas, sudah jelas dia harus pulang". dan dia harus pasrah terhadap takdir, untuk mempertemukan guru-guru yang mampu memberikan pendidikan melebihi universitas, yang notabene pengajarnya banyak yang lulusan luar negeri.
sekian hari kontradiksi pendidikan itu memang semakin nampak. masyarakat miskin banyak yang tidak bisa naik kelas, seperti ready seorang anak kuli bangunan banyuwangi, dia0 hanya mengawang-awang dalam keinginan untuk bisa kuliah seperti teman-temanya, karena hak-hak pendidikan mereka terkangkangi oleh biaya-biaya yang terkadang dimanipulatif oleh pejabat-pejabat birokrasi, yang notabene sebagai kaum intelektual yang katanya secara sadar telah memahami realitas.
Jember, 5 Agustus 2009