“kata adalah senjata” itulah slogan yang sering kita dengar. kata merupakan symbol dari eksistensi manusia. Dengan kata manusia mampu berkomunikasi dan mentransformasikan nilai-nilai yang ada dalam tatanan masyarakat, generasi ke generasi lewat interaksi sosial.
Dunia saat ini memang telah berperang, manusia berkompetisi dengan sesamanya dalam mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk rasional di jagat ini, individu antar individu, kelompok masyarakat satu dengan yang lain, atau Negara dengan negara. Pastinya tragis orang berlaga dimedan perang, tanpa senjata berarti dia menyerah sebelum berperang, oleh karena itu kita (menurut perspektif pribadi saya) yang sedang berperang. Berperang dengan diri kita sendiri yang dipenuhi dengan keinginan-keinginan yang kebanyakan diproduksi oleh mainstream dunia.
Dunia saat ini memang telah berperang, manusia berkompetisi dengan sesamanya dalam mempertahankan eksistensinya sebagai makhluk rasional di jagat ini, individu antar individu, kelompok masyarakat satu dengan yang lain, atau Negara dengan negara. Pastinya tragis orang berlaga dimedan perang, tanpa senjata berarti dia menyerah sebelum berperang, oleh karena itu kita (menurut perspektif pribadi saya) yang sedang berperang. Berperang dengan diri kita sendiri yang dipenuhi dengan keinginan-keinginan yang kebanyakan diproduksi oleh mainstream dunia.
Lalu jika kata adalah senjata, senjata yang seperti apa? Kata disini bisa dimaksudkan, instrument yang digunakan untuk menyerang dan bertahan dari setiap intervensi dari arogansi lawan yang tidak menginginkan eksistensi kita terus bertahan. Tentuhnya jika ingin memiliki bargaining power yang kuat dalam kancah peperangan antar manusia, harus memiliki senjata yang handal untuk mencapai tujuan yang telah diinginkan, sebab jika tidak “homo homini lupus” pastinya kita yang akan menjadi korban kanibalisme antar manusia.
Bagaimana caranya membuat senjata yang baik, supaya memiliki bargaining power yang kuat dalam proses interaksi sosial (jika kata perang terlalu eksterm). Caranya salah satunya adalah dengan selalu mengasa dan mengajak (brain) otak kita bergerak (berfikir) entah dengan membaca, diskusi, latihan hal-hal yang memiliki respon positif terhadap otak dan sebagainya. Dalam brain terdapat raksasa yang tertidur lelap sebelum kita membangunkan dia, maksudnya otak merupakan unsur dari manusia untuk berfikir (rasionalitas), bagaimana manusia
memecahkan masalahnya, dan yang dimaksudkan membangunkan raksasa adalah akal manusia memiliki kekuatan yang sulit sekali dibayangkan “dasyat” apa maksudnya? Hal-hal empiric yang sebelumnya tidak ada (teknologi, sarana prasarana yang menunjang kehidupan manusia, dan sebagainya) sebelum keberadaanya secara kasat mata seperti yang sekarang, pasti ada terlebih dulu dalam konstruk pemikiran manusia yang selalu berkembang akibat tuntutan keadaan (realitas).
Dengan trik “dipaksa, terpaksa dan biasa” lewat “iqra’ bismirabbikaldzi khalaq” membaca (tersurat maupun yang tersirat) dari alam ini (manusia termasuk didalamnya), diskusi tentang masalah-masalah yang masih bisa di jangkau oleh akal kita, atau mangga yang ingin bermain-main dalam dunia idenya menerawang jauh menembus batas (entah batas yang mana). otak akan terbiasa untuk itu, oleh karena itu jika dia (otak) diajak berperang dalam mempertahankan eksistensi kita sebagai manusia, kelompok social yang membawahinya dia akan selalu siap.
Sebagaimana yang saya utarakan diatas, kita saat ini sedang berperang “perang melawan zaman, dimana manusia saling berkompetisi untuk tetap bertahan, hingga tersimpul yang kuat adalah yang menang” bukan harus menjadi yang terbaik, tetapi minimal eksistensi kita tetap terjaga. Untuk bertahan kita harus punya senjata yang tangguh, kita tidak bisa mengelak pada era yang kompetitif saat ini, yang dapat kita jadikan senjata utama dalam berperang “minimal berperang dengan zaman yang sering memaksa kita menjadi orang lain, kalau kita belum siap terjun sedikit mengentaskan mereka yang termarjinalkan” dan senjata itu sekali lagi adalah “kata” yang merupakan reduksi dari apa yang terdapat dalam dunia ide (fikiran) dan hati kita.
Jika demikian lalu bagaimana dengan senjata kita. Jika penulis boleh berpendapat, kita masih lemah dalam hal senjata (alutsista : versi TNI), secara modal untuk menciptakan budaya ilmiah dirasa semuanya telah ada “buku sebagai referensi bacaan terlalu banyak yang terpampang, puluhan raksasa dalam otak dari puluhan anggota kita masih banyak yang tertidur pulas, ruang dan waktu untuk bercelotehpun terlampau banyak yang kita sia-siakan”, tetapi berbagai macam penunjang tersebut jarang kita gunakan untuk mengasah senjata kita supaya tidak tumpul dan berkarat.
jika demikian, apakah kamu kamu telah mempersiaplannya??
tanyakan pada dirimu!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar